Saya berpikir tentang hukuman mati. Masalah ini tidak bisa lepas pada ingatan suci akan ajaran bersejarah tanpa melupakan kemajuan doktrin karya para Paus sebelumnya, tetapi juga tidak lepas dari kesadaran orang kristen yang berubah, yang menolak sikap sadar terhadap sebuah hukuman yang sangat mengganggu martabat manusia. Harus ditekankan bahwa hukuman mati adalah sebuah tindakan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia, apapun bentuk eksekusinya. Dan ini sangat bertentangan dengan Injil karena hukuman mati ini diputuskan secara sadar untuk menekan kehidupan manusia yang sesungguhnya sakral di hadapan Sang Pencipta dan hanya Tuhan saja yang menjadi hakim dan penjamin kehidupan itu. Tidak seorangpun, “sekalipun seorang pembunuh, akan kehilangan martabatnya” (Surat Presiden Komisi Internasional melawan hukuman mati, 20 Maret 2015), karena Tuhan adalah Bapa yang selalu menanti anaknya kembali, yang sadar bahwa dia bersalah, meminta pengampunan dan memulai kehidupan baru. Jadi tidak seorangpun boleh kehilangan, bukan hanya kehidupan, tetapi juga kesempatan yang sama akan tebusan moral dan eksistensial untuk kembali dalam masyarakat.
Di abad-abad lalu, ketika masih kurangnya perlengkapan untuk membela diri dan peradaban masyarakat masih belum maju, eksekusi hukuman mati dipandang sebagai konsekuensi logis untuk melaksanakan keadilan yang harus dipertahankan. Sayangnya, dalan Negara Kepausan eksekusi keji dan tidak manusiawi ini juga dilakukan, dengan mengabaikan nilai utama belas kasih akan keadilan. Kita bertanggung jawab atas dosa di masa lalu, dan kita melihat bahwa cara-cara itu lebih didikte oleh mentalitas hukum daripada mentalitas kristiani. Kekhawatiran untuk menjaga kesatuan kuasa dan harta materiil telah membawa kita mengagungkan nilai hukum, dengan tidak menggali lebih dalam lagi pengertian Injil. Bagaimanapun, dengan bersikap netral di hadapan kepentingan baru untuk menegaskan martabat manusia, akan membuat kita lebih berdosa.
Di sini kita tidak sedang berada dalam posisi bertentangan dengan ajaran di masa lalu, karena membela martabat kehidupan manusia dari saat pembuahan sampai pada kematian alami selalu menjadi ajaran utama dalam ajaran Gereja Katolik. Namun, perkembangan doktrin yang harmonis mengharuskan kita untuk mengabaikan posisi dalam membela argumen yang sekarang tampaknya bertentangan dengan pemahaman baru tentang kebenaran Kristen. Kemudian, seperti yang telah diingatkan oleh Santo Vincensius dari Lerisn: “Mungkin seseorang berkata: jadi dalam Gereja Kristus, tidak akan adakah perkembangan agama? Tentu saja ada, dan bahkan besar”. Sebenarnya, siapakah orang bertentangan itu sehingga menentang Tuhan untuk mencegahnya?" (Commonitorium, 23.1: PL 50).
Penting untuk menegaskan bahwa, sebesar apapun kejahatan yang dilakukan, hukuman mati tidak dapat diterima karena tidak memperhatikan ketidakterbatasan dan martabat manusia.