Sepuluh tahun telah berlalu semenjak kematian William Quijiano, seorang pemuda berusia 21 tahun, masih muda, tetapi hidup dengan keberanian, menciptakan karya-karya yang akan menentukan, yang merupakan hal yang “mustahil” bagi pemuda seusianya.
El Salvador adalah tanah airnya. Dan seperti banyak tempat di Salvador, juga di kampung halamannya, di lingkungan nya, ada kelompok kriminal kecil yang disebut Maaras. Si jenius William membantu wilayah tempat tinggalnya untuk menyingkirkan kanker yang menggerogoti Salvador ini. Dia memiliki pandangan untuk mulai mendidik anak-anak, menghapuskan mereka dari pengaruh Maaras dan dari kehidupan jalanan, supaya menjadikan mereka menjadi manusia yang lebih baik. Dan intuisinya menuntunnya membentuk Sekolah Damai di lingkungannya. Dengan cara ini, William mulai berjuang melawan kekerasan dengan budaya persahabatan, yang telah mampu menghadirkan dirinya kepada anak-anak Sekolah Damai sebagai ayah yang penuh kasih, yang cemas akan masa depan anak-anaknya, khawatir jika mereka akan tumbuh dalam kekerasan dan jiwa pemberontak di kota itu.
Dia bukan pahlawan, ia adalah orang yang cinta damai. Dan sayangnya justru kata-kata damai-nya yang membuat William dimusuhi beberapa orang, musuh yang tidak ragu-ragu untuk membunuhnya, yang berharap kematian William, yang dikira juga akan mematikan sekolah Damai dan perubahan yang saat ini memperbaharui kota tersebut. Namun hal ini tidak terjadi. William hidup melalui sekolah Damai, dia hidup melalui diri anak-anaknya yang kini telah menjadi tonggak penting di lingkungannya, hidup setiap kali seorang anak diculik oleh Maaras.
Dengan cara demikianlah kita ingin mengingat Komunitas Sant'Egidio, yaitu sebagai seorang yang cinta damai, yang memiliki keberanian menyingsingkan lengan baju untuk merombak tatanan yang menyesatkan, dengan harapan bahwa kota kita bisa berubah.