Relevansi Perjanjian Damai Mozambik
Penandatanganan perjanjian damai umum Mozambik direncanakan pada tanggal 1 Oktober 1992. Beberapa pemimpin negara dan menteri dari negara-negara Afrika melakukan perjalanan untuk bergabung dengan beberapa anggota Komunitas Sant’Egidio, satu kelompok awam yang berdedikasi kepada doa, penginjilan dan solidaritas. Setelah 11 putaran negosiasi di Sant’Egidio selama lebih dari 26 bulan, masih ada satu masalah penting yakni siapa yang mengontrol wilayah selama transisi sebelum putaran pertama pemilihan umum demokratis dan universal? Masalah ini menimbulkan lebih banyak pertanyaan: Siapa yang berdaulat? Bagaimana para gerilyawan diyakinkan bahwa gencatan senjata akan dihormati? Dan bagaimana pemerintah diyakinkan bahwa wilayah yang masih dikuasai oleh pihak gerilyawan tidak akan terpecah atau mengurangi kedaulatan? Selama tiga hari, mediator internasional bekerja terus menerus bersama para pemimpin dari tiap-tiap kelompok di Roma.
Banyak pihak yang menawarkan dukungan-khususnya di Mozambik, satu tempat yang penduduknya masih mengalami penderitaan, sekarat dan berharap- sedang menantikan apakah akan ada perdamaian sejati ataukah hal ini hanya merupakan mimpi. Akhirnya di penghujung 3 Oktober tercapailah persetujuan terhadap protokol terakhir, dan penandatanganan dilakukan pada keesokan harinya, hari Minggu. Pemerintah Mozambik tetap memegang kedaulatan di seluruh wilayah. Pada praktinya, pemerintahan mendelegasikan pemerintahan wilayah yang berbeda kepada pemerintah setempat, baik itu dari pihak Renamo maupun dari pihak pemerintah, berdasarkan distribusi kekuasaan saat itu. Dan satu komisi dari mediator Sant’Egidio dan perwakilan dari kedua belah pihak dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus kontroversial.
Pada hari-hari tersebut, semua yang bisa anda dengar di jalan-jalan Mozambik adalah siaran radio terus menerus karena penduduk yang diam menantikan dengan putus asa sebuah kabar bahagia. Pada tanggal 4 Oktober, setelah doa malam di Basilika Santa Maria Travestere Roma bersama Kardinal Roger Etchegaray, presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, kegembiraan dan nyanyian berlangsung selama satu jam. Di mozambik, mimpi buruk yang telah memakan korban satu juta nyawa dan menyebabkan jutaan manusia terusir dan kelaparan telah berlalu.
Metode Sant’Egidio
Semua itu dimulai pada Juli 1990, setelah berlangsungnya perang saudara, kelaparan, penderitaan, pengungsi dan kegagalan internasional di Mozambik. Komunitas Sant’Egidio tidak memilih menjadi pemain langsung dalam diplomasi internasional. Komunitas mengasihi penduduk Mozambik dan berkepentingan dalam damai sebagai satu-satunya kesempatan untuk menghentikan spiral kekerasan yang memakan begitu banyak korban, termasuk beberapa kaum muda anggota Sant’Egidio. Sant’Egidio telah bekerja untuk meringankan permusuhan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh Gereja Katolik dan banyak penganut Kristen lainnya sebagaimana juga para misionaris yang ditempatkan di negara tersebut. Sant’Egidio merupakan instrumen bagi pertemuan pertama Paus Yohanes Paulus II dengan Presiden Samora Machel ketika Beliau mampir di Roma dalam perjalan pulang dari PBB. Sant’Egidio dianggap “lulus” oleh pemerintah Mozambik ketika meluncurkan program bantuan bagi masyarakat melalui Karitas dan Kristen lokal cabang Mozambik- mendapatkan pujian pribadi bersama dengan kelas kepemimpinan yang dilatik di Eropa yakni di Sorbonne dan departemen sosiologi Universitas Trent Italia, tempat “Brigade Merah” belajar “revolusi”.
Tetapi Pax Romana-seperti yang disebut oleh koran Prancis Le Monde-tidak dihasilkan di atas meja. Selama bertahun-tahun, Sant’Egidio mengatakan bahwa semuanya musnah dalam perang dan perang merupakan “induk kemiskinan” sejati. Sant’Egidio telah menjelajahi berbagai macam kemungkinan sebuagai sebuah usaha nasional untuk berdialog dengan beberapa perwakilan pemerintah Mozambik ketika kedua belah pihak masih saling mengumpat pihak lain sebagai “penjahat” dan “pembunuh”. Sant’Egidio menjalin hubungan dengan pimpinan kelompok gerilya anonim yang memiliki sangat sedikit kontak internasional dan, oleh karena itu, sedikit pengaruh tawar-menawar internasional.
Sant’Egidio mefasilitasi pertemuan pertama, ketika masing-masing pihak setuju terhadap metode yang ditawarkan oleh Andrea Riccardi, pendiri Sant’Egidio. “Sisihkan apa yang memisahkan dan mulai bekerja bagi apa yang bisa menyatukan,” menggemakan ucapan Paus Yohanes XXIII tetapi dalam tingkatan diplomatik. Ketika protokol gabungan pertama ditandatangani, para pihak memandang satu sama lain sebagai musuh dalam konflik tetapi juga menganggap diri mereka sendiri sebagai “saudara sekeluarga dan sebangsa Mozambik” dan secara terbuka mengumumkan keinginan dimulainya negosiasi. Sebotol anggur Ferrrari Spumante dan foto bersama yang pertama merupakan perayaan peristiwa tersebut.
Kembali pada Agustus 1992, selama negosiasi putaran kedua, ketika kedua belah pihak tidak bisa bersepakat pada pilihan satu atau beberapa pemerintahan yang bertindak sebagai mediator, Sant’Egidio diminta secara resmi untuk melaksanakan peranan itu. Selanjutnya metode “Sant’Egidio” mendapatkan landasan sebagai kebutuhan praktis dan historis. Kelompok ini memiliki banyak kekuatan: campuran pengetahuan tentang masalah di lapangan; kredibilitas yang tidak memiliki ambisi selain perdamaian dan rekonsiliasi; menggabungkan tindakan dengan orang lain dan dengan pemerintah yang tertarik, menjaga peran mereka tetap berbeda; memperhatikan faktor manusia sebagai masalah utama dalam negosiasi; seni koeksistensi dan persahabatan; dan kemampuan menguraikan bahasa. Faktor-faktor ini mengembangkan bahasa yang sama di antara kedua belah pihak di mana mereka yang saling mengancam, memberi jalan kepada penemuan bidang politik untuk menggantikan konfrontasi militer sebagai solusi terhadap perbedaan pendapat dan kekuatan di lapangan.
Hal itu tidaklah mudah. Negosiasi selama 26 bulan sepertinya sangat lama. Pada awalnya, nampaknya hal tersebut bisa dicapai dalam hitungan bulan. Tetapi mentalitas perdamaian harus diciptakan, saling percaya belum tercipta di sana. Seorang pejuang harus diubah menjadi politikus. Ada masalah keamanan militer. Kematian-kematian masih berlangsung. Orang-orang masih merasa sangsi. Para misionaris yang dekat dengan penderitaan penduduk tergoda karena ketidaksabaran. Mengapa begitu lambat? Secara paradoks kelambatan tersebut merupakan satu rahasia dari perdamaian. Negosiasi sendiri merupakan kunci keberhasilan. Bernegosiasi berarti memberikan perhatian kepada hal-hal detail. Metode negosiasi tersebut merupakan satu pelajaran demokrasi bagi kedua pihak: bahasa, peraturan, mekanisme dan mentalitas. Dan hal tersebut masih berguna selama 2 dekade berikutnya.