Makan Siang Natal Sant'Egidio: Meja Makan Menyatukan Kebersamaan

Perayaan Natal menjadi kesempatan untuk berbagi kebaikan, tanpa memandang agama maupun ras. Hal tersebut dapat terjadi melalui kegiatan sederhana dengan berkumpul di meja makan.

Aula Seminari Wacana Bhakti di Pejaten Barat, Jakarta Selatan, tampak dipenuhi sukacita saat ratusan anak dan orang dewasa berkumpul dalam deretan meja panjang. Mereka duduk saling berhadapan, dihibur dan dijamu makanan ringan yang tersaji di meja.

Pukul 12.00, kemudian mereka dijamu dengan hidangan makan siang. Sejumlah orang datang dengan membawa nasi, mi, lauk-pauk serta berbagai hidangan lainnya yang diletakkan di meja.

Selasa (25/12/2018) siang itu menjadi Natal yang tidak hanya dirayakan oleh umat kristiani, tetapi juga seluruh warga, tanpa memandang latar belakang mereka. Mereka menjadi tamu yang dilayani oleh relawan di meja makan.

ejumlah relawan itu tergabung dalam Makan Siang Natal yang diadakan Komunitas Sant’Egidio. Kelompok ini adalah organisasi Katolik yang anggotanya terdiri dari kalangan awam atau bukan rohaniawan.

Hubungan antara tamu dengan relawan tampak begitu kooperatif. Hal itu terlihat saat Pandi (54), warga asal Kedoya, turut membantu seorang relawan, Suci (22), membagikan hidangan ke meja makan. Hubungan mereka tidak seperti interaksi antara tuan dengan pelayan.

Koordinator Nasional Komunitas Sant’Egidio Indonesia, Teguh Budiono, ingin menunjukkan bahwa meja makan dapat menjadi salah satu solusi untuk segala bentuk intoleransi. Tempat ini menjadi sarana untuk bertemu, saling menyapa, dan menghilangkan prasangka.

“Hal yang penting dari kegiatan ini adalah perjumpaan dan komunikasi,” tutur Teguh.

Menurut dia, kebersamaan adalah sebuah keniscayaan yang dapat dibangun. Hal itu berusaha ia buktikan melalui keterlibatan berbagai pihak, termasuk umat muslim dalam kepanitiaan acara ini.

Dari 635 warga dan 400 relawan dalam kegiatan ini, hampir separuh jumlahnya adalah umat muslim. Sebagian besar relawan juga berasal dari komunitas umat muslim, seperti Komunitas Gusdurian dan Hijabers.

 

Berbaur

Makan Siang Natal menjadi ajang bagi seluruh pihak untuk berbuat baik. Yeyet (22) misalnya, ingin mengeksplorasi lebih jauh sisi kemanusiaan melalui kegiatan sosial semacam ini.

Menurut dia, kegiatan ini menjadi ajang implementasi nilai positif yang ia pelajari dari tokoh favoritnya, Gus Dur. Ia bangga karena bisa berkontribusi positif bagi orang lain, tanpa memandang latar belakang agama.

 

 

Hal serupa juga dirasakan Suci, relawan Komunitas Gusdurian. Ia merasa memiliki keluarga baru seusai kegiatan ini.”Di sini, saya tidak dianggap berbeda oleh rekan relawan lainnya hanya karena berbeda agama,” tutur Suci.

Kegiatan ini menjadi berkah bagi sejumlah warga, seperti keluarga Pandi. Ia yang sudah tiga tahun rutin ikut acara tersebut, diberi sejumlah barang dari relawan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Muslimah (32), yang juga rutin mengikuti kegiatan tersebut tiap tahun, telah berteman baik dengan sejumlah relawan. Dalam sejumlah kesempatan, anaknya diajari oleh relawan untuk membaca dan menulis.

Teguh berharap kegiatan ini dapat membuat warga lebih toleran terhadap berbagai keberagaman. Menurut dia, tahun 2018 menjadi tahun yang sulit karena berbagai isu kebencian tersebar luas.

“Seringkali, Kebencian itu terjadi karena kita tidak membuka ruang dialog, tidak membuka kesempatan untuk saling menyapa,” ujar Teguh.Lebih lanjut ia menjelaskan, budaya untuk lebih memahami satu sama lain perlu lebih dibangun. “Perbedaan bisa cair, luluh, ketika ada ruang untuk saling bertemu,” pungkasnya. (Aditya Diveranta, Kompas)

Sumber: Kompas