JEMBATAN PERDAMAIAN: Bersahabat, Berdialog dan Berdoa

Pada tanggal 27 Oktober 2018, bertempat di Grhatama Pustaka Yogyakarta, Komunitas Sant’Egidio mengadakan kegiatan tahunan: “Dialog Lintas Iman-Budaya & Doa Bagi Perdamaian”. Kegiatan ini merupakan sebuah gerakan bersama untuk meyebarkan Spirit of Assisi ke berbagai tempat di seluruh dunia yang sebelumnya telah diinisiasi oleh Yohanes Paulus II tiga puluh dua tahun yang lalu yaitu pada tahun 1986.
Dalam pertemuan yang mengangkat tema: Jembatan Persahabatan: Harapan Akar dari Perdamaian, Komunitas Sant’Egidio di Yogyakarta mengundang beberapa pemuka agama-agama dan beberapa penggiat muda perdamaian lintas iman dan budaya. Beberapa narasumber yang hadir antara lain: K.H. Abdul Muhaimin dari Forum Persaudaraan Umat Beriman dan pendiri Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Pdt. Yosef Krisetyo Nugroho dari Gereja Kristen Jawa Wirobrajan, Pdt. Hadyan Tanwikara sebagai pendamping Orang Muda Kristen, Totok Tejamano dari PATRIA-Buddha, I Nyoman Santiawan dari PERADAH-Hindu. Juga hadir tokoh-tokoh muda penggiat perdamaian antara lain: Jirhas Ranie Artika tokoh sekaligus aktivis perempuan lintas iman, Yunan Helmi musisi muda dan budayawan yang giat mempromosikan perdamaian lewat berbagai karya seni, Paksi Hidayatulloh dari Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, Lilik Krismantoro tokoh muda Katolik, dan Emanuel Gobay dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.

Dihadapan peserta yang berjumlah sekitar lebih lima puluh orang dari berbagai lapisan masyarakat, penggiat perdamaian, mahasiswa dan pelajar, para narasumber menghimbau agar di tengah tantangan era globalisasi, setiap orang tetap memiliki kepedulian dan inisiatif untuk menjaga keharmonisan, toleransi, kemajemukan dengan menggali nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.

Pada panel pertama, dialog lintas Iman, K.H Abdul Muhaimmin mengatakan: “Agama seharusnya menjadi solusi bersama bagi kehidupan saat ini, baik itu solusi sosial dan politik dan ketika ada visi bersama perdamaian akan terwujud”. Beliau melanjutkan: “Agama seharusnya mengedepankan nilai-nilai subtantif bukan terbatas pada hal-hal simbolik semata”. Totok Tejamano dari PATRIA-Budha menyampaikan refleksi terkait situasi masyarakat saat ini yang terjebak dalam usaha membangun tembok pemisah dan merasa bangga dengan hal ini, menurut beliau yang harus diusahakan yaitu tetap membangun jembatan perjumpaan. Agama yang baik adalah yang membawa cinta kasih serta kebaikan bagi semua orang dan semangat dasar dari semua ini adalah cinta kasih dan kebijaksanaan.

Pendeta Yosef Krsetyo dari Gereja Kristen Jawa Wirobrajan mengatakan bahwa perdamaian harus memiliki ruang aksi. Perdamaian bukan sebuah “stastus”, tetapi sebuah karya bersama, khususnya bagi orang muda di era milenial ini. Perwakilan dari agama Hindu, I Nyoman Santiawan juga menyampaikan refleksi yang terkait eksistensi agama yang berfungsi untuk sebagai jembatan perdamaian. Dimensi perdamaian yang utuh terkait erat dengan relasi dengan sesama dan setiap orang adalah kunci bagi usaha perdamaian. Dialog lintas iman ini ditutup dengan refleksi dari Pendeta Hadyan Tanwikara yang mengatakan bahwa: “perdamaian adalah persahabatan”. Beliau menutup ceramahnya dengan mengutip kata-kata Hendri Nouwen: “Kegelapan yang paling gelap ada di dalam hati kita”, jadi perlu membuka mata dan melihat terang yang ada di dalam hati kita.